Google
 

Wednesday, October 17, 2007

Curug Cinulang

DARI bypass Parakanmuncang, jaraknya tak lebih dari 10 km. Namun, untuk "menemuinya", dua bukit akbar harus terlebih dahulu dilalui. Jalan berkelok, menanjak dan menurun itu--untungnya--dilapisi aspal nan mulus. Dijamin, perjalanan takkan membosankan karena alam di sana menawarkan keindahan yang luar biasa. Bak lirik sebuah lagu lawas, itulah pemandangan alam dari atas bukit.
PARA pengunjung menikmati pesona Curug Cinulang di Ds. Sindulang Kec. Cimanggung Kab. Sumedang, Senin (10/4). Meski setiap pekan ramai dikunjungi, banyak pedagang yang malah bangkrut. Dalam sehari, mereka hanya berpendapatan dalam kisaran Rp 5.000,00 hingga Rp 10.000,00.

Aspal nan mulus itu, ternyata, cuma sampai di ujung Desa Dampit Kec. Cicalengka Kab. Bandung. Begitu memasuki Desa Tanjungwangi, keadaan jalan berbanding terbalik. Jalan berbatu dan lubang di mana-mana. Di beberapa titik, jalan bercampur air dan lumpur longsoran tebing. Keadaan demikian harus "dinikmati" sejauh 2 km. Perlahan, dari balik rerimbun dedaunan, si cantik itu menampakkan diri. Curug Cinulang.

Begitu memasuki lokasi, petugas meminta bayaran Rp 3.000,00. Dua ribu rupiah untuk tiket masuk setiap individu dan seribu rupiah untuk kendaraan. Selain itu, di areal parkir, ditarik lagi bayaran Rp 2.000,00 untuk jasa parkir setiap kendaraan.

Dari pintu gerbang, gemuruh air yang jatuh menimpa bebatuan sudah terdengar. Ternyata, curug itu berlokasi di bukit seberang. Secara administratif, curug itu tak berlokasi di Kec. Cicalengka. "Masuknya ke Kp. Sindulang Ds. Sindulang Kec. Cimanggung Kab. Sumedang," ungkap Sekretaris Desa Tanjungwangi, H. Suganda ketika ditemui di ruang kerjanya, Senin (17/4).

Cinulang tak terurus. Tangga panjang yang menempel di tebing bukit, kini, tak lagi utuh. "Sulaman" besi bundar yang semula "menghuni" pinggiran tangga pun sudah lama raib. Pun demikian, bilah-bilah tangga sudah banyak yang semplak terkena longsoran. Tangga panjang itu tak sampai ke bibir Sungai Citarik, aliran air di bawah Curug Cinulang.

Tangga itu berujung di tengah-tengah tebing, beberapa meter setelah dibuatkan cabang. Seterusnya, jalan berupa bongkahan-bongkahan batu gunung yang besar. Jalan itu membahayakan pengunjung karena terus-menerus disembur oleh embun dari curug. Kondisinya sangat licin dan berlumpur.

Ada sebuah jembatan mungil melintang di tengah sungai. Segendang sepenarian, keadaan jembatan itu pun sama mengkhawatirkannya. Seng-seng pelapis lantai jembatan itu sudah bolong-bolong dan berkarat.

Kondisi itulah yang, sepertinya, menyebabkan masyarakat sungkan berkunjung ke sana. Saat ini, berdasarkan data, Curug Cinulang paling banyak dikunjungi oleh 300 orang setiap pekannya. "Sangat jauh jika dibandingkan dengan tingkat kunjungan pada dekade 1980 dan 1990. Saat itu, bisa mencapai 10.000 orang yang berkunjung ke sini," tutur Suganda.

Jika dikalkulasi, pendapatan dari tiket masuk setiap minggunya hanya Rp 600.000,00. Sementara, berdasarkan ketentuan, jumlah tersebut harus dibagi ke dalam beberapa "pos". Sebanyak 30% untuk pajak, 30% kas desa, 15% upah pungut (sebanyak 20 orang), 10% untuk pengadaan karcis dan ATK, 10% untuk pemeliharaan dan pembinaan, serta 5% lain-lain.

Pada kenyataannya, kata Suganda, sharing itu tak sepenuhnya terjadi. "Malah, minggu lalu, uang yang masuk ke kas desa hanya Rp 30.000,00. Jadi, boro-boro buat pemeliharaan dan perbaikan kondisi objek wisata. Terkadang, buat upah barudak yang sebanyak 20 orang itu sering kali kita ambil dari pos lain," ujarnya.

**

OBJEK wisata Curug Cinulang hanyalah salah satu contoh. Pengelolaan objek wisata di wilayah Kab. Bandung membutuhkan keseriusan pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif. "Butuh willing yang kuat dari pemda," ujar Kepala Seksi Objek Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bandung, Yoharman Syamsu, S. Sos., M.Si.

Setidaknya, ada tiga masalah yang kerap muncul dalam konteks pengelolaan objek wisata. Pertama, menurut dia, adalah masalah kepemilikan lahan wisata oleh pihak yang berbeda. Ia mencontohkan objek wisata Cibolang, Pangalengan. Jalan menuju lokasi adalah milik PT Perkebunan Negara sehingga agak sulit untuk mengembangkan wisatanya.

Hal itu tidak akan sulit seandainya koordinasi antara pemkab, pihak pengembang, dan pemilik lahan berjalan baik. Buktinya, jalan tembus Ciwidey-Pangalengan sekarang sudah menjadi milik pemkab. "Tadinya itu milik Perhutani dan Perkebunan," katanya. Jalan sepanjang 17,4 kilometer itu diperlukan untuk pengembangan lokasi wisata yang berada di kedua wilayah itu.

Permohonan perbaikan jalan yang saat ini sedang diajukan adalah menuju lokasi wisata Gunung. Tangkuban Parahu yang kini dikelola oleh PT Palawi.

Pendapat senada datang dari gedung dewan, dalam Rapat Panitia Khusus II tentang Perda Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) di DPRD Kab. Bandung, bulan lalu. Akibatnya, Pemerintah Kabupaten Bandung kesulitan mengoptimalkan potensi pendapatan dari objek wisata yang mayoritas wisata alam. Sekadar catatan, mayoritas objek wisata tak dimiliki secara mutlak oleh Pemkab Bandung, tetapi juga oleh Perhutani, Balai Konservasi Sumber Daya Air (BKSDA), dan perusahaan perkebunan. "Alhasil, langkah Pemkab agak terjegal karena kepemilikan lahan yang bermacam-macam itu," ujar anggota Pansus II dari Komisi C, Asep Anwar.

Dia mencontohkan, sebanyak 65 persen luas objek wisata Situ Patengan, Ciwidey, dimiliki oleh Perhutani, dan 25 persennya dimiliki perusahaan perkebunan. Dengan demikian, bagian pendapatan untuk pemkab sangat sedikit. Dari seluruh objek wisata yang ada, hanya objek wisata Maribaya yang murni dimiliki oleh Pemkab Bandung. Pendapatan dari retribusi objek wisata Maribaya pada tahun 2005 sebesar Rp 203.500.000,00.

Kasie Objek Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Bandung, Yoharman Syamsu mengatakan, selama ini kerja sama antara pemkab dengan pihak perhutani atau Perkebunan baru kesepakatan lisan saja, belum ada Memorandum of Understanding (MoU). "Baru dengan Indonesia Power saja untuk Situ Cileunca, yang lainnya belum," ujarnya. Pemkab diberi hak penuh pengelolaan selama lima tahun dari 2006 - 2011. Tahun lalu, pendapatan retribusi dari Situ Cileunca sebesar Rp 5.225.000,00.

Menurut anggota pansus dari Komisi C, Rudi Atmanto, satu-satunya objek wisata yang dimiliki, yaitu Maribaya, pun kini tidak terurus. "Di lereng-lerengnya sudah dibangun rumah-rumah peristirahatan, " katanya. Selain itu, lanjutnya, sungai yang mengalir di Maribaya sudah banyak mengandung sampah.

Menurut Asep Anwar, di lapangan, tercium indikasi adanya oknum pengelola yang tidak mau ditertibkan karena takut kehilangan sumber pendapatan hasil berbagai pungutan liar yang ada di lokasi wisata.

Bahkan di objek wisata pemandian Cibolang, Pangalengan, sulit dikembangkan karena 65 persen lahan dimiliki Perhutani, sementara jalan yang dapat mengakses lokasi dimiliki perkebunan. "Untuk bikin jalan, minta ganti rugi Rp 250.000,00 per pohon teh, pengembang mana yang mau seperti itu?," tanyanya.

Untuk itu, dalam pembahasan RIPDA, pihak perkebunan, Perhutani, dan BKSDA akan dilibatkan untuk mencari solusinya. Institusi tersebut dilibatkan bukan karena soal kepemilikan lahan saja, melainkan untuk membuat perencanaan terpadu mengingat mayoritas objek wisata di Kabupaten Bandung adalah wisata alam yang rentan merusak alam. "Selama ini pemkab tidak punya perencanaan yang baik," ucap Rudi Atmanto.

Kedua, adalah masalah pembinaan objek wisata, terutama dari sisi bisnis. Antara bisnis, promosi, dan pelayanan yang baik, menurut dia, saling berkaitan.

Ketiga, maraknya biaya siluman (preman, oknum wartawan, dan oknum aparat) yang harus dikeluarkan oleh pengelola wisata. Ia mencontohkan objek wisata Curug Ci-nulang yang dikelola oleh pemerintah desa setempat. Pihaknya mengaku telah menerima laporan bahwa pemerintah desa tidak mampu lagi mengelola karena tidak kuat lagi menghadapi pungutan-pungutan liar dari berbagai pihak tersebut.

Jumlah pungutan menghabiskan porsi paling besar dalam komponen biaya pemeliharaan objek wisata. Bahkan, menyita biaya perawatan. "Jadi, wajar kalau keadaannya tidak terawat," ujarnya. Saat ini, pihaknya sedang menjajaki agar bisa ditangani pemkab lagi.

Pemerintah Desa Tanjungwangi membenarkan informasi tersebut. Salah seorang staf mengabarkan, setidaknya, hal itu terjadi 2 kali dalam sebulan. "Tak cuma meminta jatah. Ada juga yang jajan di warung dan menyerahkan pembayaran kepada kami. Tak ingin membuat masalah, kami pun akhirnya membayarnya meski tak jarang berutang dulu karena tak punya uang," katanya.

Sebagai alternatif jalan keluar, kata Yoharman, pihaknya mendesak agar Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) segera disahkan menjadi peraturan daerah. "Setidaknya, di situ, termuat jalan keluar atas --sedikitnya-- ketiga masalah di atas. Pada prinsipnya, RIPPDA lebih mengutamakan kepentingan masyarakat dan kemajuan sektor pariwisata. Jika sudah disahkan menjadi perda, maka hanya satu-satunya di Indonesia, kabupaten yang memiliki rencana induk pariwisata dan berlaku selama 10 tahun ke depan," demikian Yoharman Syamsu.

DALAM konteks Curug Cinulang, Suganda mengaku, pihaknya kini menggantungkan harapan kepada pihak berwenang, dalam hal ini Pemerintah Kab. Bandung. "Kami sudah mengajukan permohonan dana untuk perbaikan kondisi Curug Cinulang. Kalau tidak salah, anggarannya mencapai Rp 300 juta," ucapnya.

Satu hal lagi adalah perbaikan jalan. Ada angin segar dari Pemkab Bandung. Menurut Suganda, Pemkab Bandung memang sudah merencanakan perbaikan jalan menuju objek wisata tersebut sejauh 2 km per tahun. Kini, jalan aspal nan mulus itu baru sampai di perbatasan Desa Tanjungwangi dengan Desa Dampit.

"Rencananya, bulan Juni atau Juli 2006 ini perbaikan jalan kembali dilanjutkan. Tapi, dengar-dengar, jatah untuk Desa Tanjungwangi hanya sejauh 1,5 km. Itu berarti, teu nepi ka curug-curug acan," ujar Suganda.

Ada semacam asa yang membuhul. Suganda mengenang masa ketika Cinulang menjadi primadona, dua dekade silam. Semuanya begitu bergairah. Tanjungwangi mendulang untung. "Bahkan, dulu, sempat bisa menyumbang untuk kesebelasan Persikab segala," katanya.

Curug Cinulang semakin memiliki daya tarik ketika lagu Pop Sunda karya Yayan Djatnika berjudul "Curug Cinulang" dilempar ke publik. Ada peningkatan signifikan terhadap tingkat kunjungan. "Ah, sekarang mah, 200 buku tiket (setiap bukunya berisi 100 lembar) belum tentu habis dalam 2 tahun," kata Suganda

Curug Cimahi












Monyet Curug Cimahi Biasa Makan Roti

NAMA Curug Cimahi di Kec. Cisarua, Kab. Bandung sebagai kawasan wisata mungkin sudah banyak dikenal orang. Kesejukan hawanya, serta segarnya butiran air terjun yang terbawa angin ketika menerpa wajah, menjadi daya tarik tersendiri.
PENGUNJUNG mengabadikan sekawananan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Curug Cimahi, Kec. Cisarua Kab. Bandung, beberapa waktu lalu. Sekira 50 ekor monyet menjadi daya tarik warga untuk berkunjung ke Curug Cimahi.

Cukup membayar Rp 2.500,00 per orang, pengunjung bisa menikmati keindahan alam Curug Cimahi. Tentunya setelah menyusuri 520 anak tangga yang mengantar kita ke titik terendah dari air terjun berketinggian 100,2 meter itu.

Namun, bagi yang enggan berlelah-lelah menyusuri anak tangga ke air terjun, mungkin bisa menikmati sensasi lain dari Curug Cimahi. Sensasi yang dimaksud adalah memberi makan monyet-monyet yang hidup di Curug Cimahi.

Untuk itu, pengunjung tidak perlu membeli tiket masuk ke Curug Cimahi. Soalnya, monyet-monyet itu biasa nangkring di batang bambu dan pepohonan di dekat areal parkir.

Menurut Ateng (35), petugas di Curug Cimahi, monyet-monyet tersebut memiliki jadwal tertentu untuk nangkring di sekitar lahan parkir. ”Minimal dua kali sehari, yaitu di pagi hari antara pukul 6.00 sampai 8.00 WIB. Udah gitu, mereka turun ke bawah. Terus, siangnya, sekitar pukul 14.30 WIB, mereka naik lagi. Paling sampai pukul 16.00,” ungkap Ateng, akhir pekan lalu. Di luar jam-jam itu, monyet-monyet tersebut menghabiskan waktunya di pepohonan dan gua kecil yang berada di tengah hutan.

Monyet yang bernama latin Macaca fascicularis (monyet ekor panjang) itu, sudah sejak lama mendiami hutan di Curug Cimahi. ”Tahun 70-an mah, waktu saya baru mulai kerja di sini, hanya sepasang. Tapi sekarang banyak pisan. Mungkin 50 ekor mah nyampe, biasanya setiap hari Minggu pagi, ada seorang dermawan keturunan Tionghoa yang rajin memberi makan monyet-monyet tersebut. Dermawan itu selalu membawa tiga keranjang besar berisi makanan kesukaan monyet, yaitu kacang tanah, pisang, dan ubi jalar. ”Selain di sini, orang itu juga mengirimkan makanan yang sama ke tempat-tempat di Bandung yang ada monyet liarnya.

Monyet-monyet di Curug Cimahi pun kerap dijamu dengan roti. ”Itu biasanya dari pabrik roti yang roti-rotinya sudah kedaluarsa. Kadang dua atau tiga hari sekali,” ujar Ateng.

Jika ada seorang pengunjung yang menyodorkan makanan, pastilah si pemimpin monyet yang paling pertama menghampiri. Jika si pemimpin sudah kenyang, baru ”rakyat” pengikutnya yang mengambil giliran.

Tidak perlu takut saat memberi mereka makan. Meski liar, monyet-monyet itu tidak segalak yang kita kira. Mereka justru cenderung takut pada kita.

Namun, tak urung jantung berdetak kencang ketika si monyet mendekat. Tapi, ketakutan itu sirna saat monyet-monyet menyentuh jemari kita untuk mengambil makanan.